Kalian Pengunjung Ke-

Kamis, 23 Agustus 2012

Janji Waktu Itu


“Kau janji akan datang ke sini untuk bertemu denganku lagi?”
“Ya, aku janji”
“Tapi kapan?”
“6 tahun lagi, kau tunggu aku di sini jam 4 sore, aku pasti datang. Apapun yang terjadi”.
“Janji?” tanyaku, lalu aku mengacungkan jadi kelingkingku.
“Janji,” jawabnya sambil menyambut jari kelingkingku.
Itu terakhir kali aku melihatnya.

***
  Tak terasa 6 tahun berlalu dengan cepat. Aku berangkat lebih pagi dari biasanya, dengan suasana hati yang tak menentu. Bagaimana kalau ia lupa akan janjinya? Bagaimana kalau ia tak bisa datang? Bagaimana kalau ia sudah menemukan penggantiku di luar sana? Berbagai pertanyaan menghantuiku pagi itu, antara gelisah dan gembira bercampur aduk.

  Sekarang aku sudah duduk di bangku SMP kelas 9. Semenjak itu, ia menghilang bagai diterpa angina. Aku sering mengirimi ia surat, bahkan hampir setiap bulan. Tapi tak pernah ada balasan. Tapi aku tak putus asa. Aku yakin ia akan datang kemari menemuiku. Mungkin ia sibuk hingg tak bisa membalas surat-suratku.

  “Sharon, kau masih yakin ia akan datang?” tanya Rella memecah lamunanku.

  “Dan seandainya dia tak datang ke taman, seperti yang ia janjikan, apa yang akan kamu lakukan?” timpal Winny.

  “Aku akan menuggunya sampai ia datang,” jawabku mantap.
Lalu mereka tertawa, keras sekali, sampai orang-orang yang ada di lorong itu melihat ke arah kami.

  “Hey, cewek itu tawanya dijaga, ya !” sahutku sewot.

  “Eh iya, sori, sori, tapi apa iya kamu rela nunggu dia sampai lumutan di sana?” tanggap Rella sambil masih tertawa.

  “Yaaaaah, ga juga sih, lihat aja nanti” jawabku ringan.

  Tiba-tiba terlihat Monic berlari kearah kami, sambil setengah berteriak ia berkata, “Hoiii, kita ga sekelas lagi, Winny!”

  “Demi apa, haah?” sahut Winny tak percaya. Ya, mereka memang sudah sekelas 2 kali berturut-turut.

  “Iye, kamu dan Sharon di kelas 9-6, sedangkan aku dan Monic di kelas 9-7” jawabnya.

  “Nyeh, satu kelas sama Winny lagi” tanggapku.

  “Jahat, nyebelin, awas yak” Jawab Winny sambil menjitak kepalaku.

  Lalu terdengar bel berbunyi, mereka dan siswa-siswi lainnya berlari menuju kelas masing-masing.

  Pikiranku melayang pada saat akan bertemu Ryan di taman dahulu kita berpisah, sampai akhirnya wali kelas yang sedang memperkenalkan dirinya, dan menjelaskan aturan di kelas, menegurku.

  “Siapa namamu?” tanya guru itu. Aku lupa namanya, yang jelas berkacamata. Tampangnya sih seperti guru matematika, pintar dan berwibawa.

  “Eh? Saya?” jawabku, sambil sekilas melihat Winny yang duduk di sebelahku cekikikan melihat tingkahku yang tertangkap basah sedang melamun. Langsung kuinjak kakinya, ihh. Ia berteriak cukup keras sampai guru tersebut pun mendengarnya.

  “Kenapa?” tanya guruku kepada Winny. Terdengar koor tawa teman-teman lagi.

  “Eh, tak apa-apa bu,” sahut Winny malu.

  Tak terasa bel pulang pun berbunyi. Saat istirahat aku hanya memandang keluar jendela kelas. Pemandangan yang cukup indah, batinku. Tapi tak cukup menyejukkan hatiku yang resah menghitung menit penantian.

  “Nah. udah jam 1 nih. Berarti kamu punya waktu 3 jam lagi untuk dandan buat ketemu dia,” goda Winny.

  “Apaan sih, lebay banget,” sahutku.

  “Yeee, udah 6 tahun ga ketemu, masa cuma tampil biasa-biasa aja? Rambutmu bagus, aku bisa bantu menatanya,” sambar Monic.

  Aku berpikir sebentar.  Emm.. Benar juga, tidak ada salahnya kan sedikit mengubah penampilan untuk bertemu Ryan, batinku.  “Oke, kalau cuma rambut, bisalah! Ayo kita ke rumahmu!”

  “Oke”

***

  “Keren! Kau berbakat jadi tukang salon!” komentarku pada Monic, yang lain cekikikan mendengar komentarku.

  “Enak aja!” sahut Monic setengah berteriak.

  Setelah makan dan mengobrol-ngobrol, aku pamit dengan yang lainnya.  “Tepat jam 3.45, aku harus berangkat sekarang. Daah kalian semua!”

  Sampai di taman, nostalgia melandaku, mulai dari saat kami main bersama, sampai kami berpisah. Ahh, sedih rasanya. Tapi mengingat kami akan bertemu lagi di sini, pada hari ini, jam 4, aku merasa bahagia. Saat melihat jam di taman tersebut, terlihat waktu menunjukkan pukul 4 tepat.

  Sebentar lagi ia pasti datang, dan akan langsung mengenaliku! Aku yakin!

  Setengah jam berlalu…
  
  1 jam berlalu..
  
  Aku hampir menangis.. Membayangkan kalau ia tak bisa datang, sedih sekali rasanya. Kamu melupakanku. Ryan? 
  
  Sampai akhirnya datang seorang cowok menepuk pundakku, sontak aku pun menoleh. Siapa dia??

  “Maaf Sharon, aku telat..” sahutnya. Aku langsung sadar kalau itu Ryan, suara itu..

  “Tak apalah, yang penting kamu datang. Aku kangen banget sama kamu, banget, banget!” sahutku.

  Lalu ia tersenyum dan merogoh saku celana jeansnya. “Ini untukmu, simpan baik-baik ya!”

  Aku bengong, tapi kuterima barang tersebut. Ternyata gelang, gelang warna biru laut. Warnanya persis sama dengan warna jepit rambutku. Bagus sekaliii… batinku. Aku langsung memakainya, Perhatianku lama teralih pada gelang pemberian Ryan. Senang sekali!  

  Tanpa kusadari aku lupa akan kehadirannya.. Ryan telah lenyap dari hadapanku.. Dimana dia??

  “Ryan?!” teriakku memanggil gemetar. Namun tak ada orang di sekitarku.

  Aku berlari menuju stasiun dekat taman, saat di jalan menuju ke sana aku melihat sesosok orang tergeletak di jalan. Bersimbah darah, seperti korban tabrak lari. Oh, tidaak, jangan Ryan, Ryanku.. Tapi.. itu Ryan..

  “Kenapa ini, bu?!” tanyaku kepada seorang ibu di dekat kerumunan.

  “Ia tertabrak truk, sekitar setengah jam yang lalu. Ia sudah tak bernyawa dek, kasihan sekali.. Masih muda begitu. Orangtuanya juga baru bisa datang setengah jam lagi. Kayaknya bukan orang sini deh,” sahut ibu itu menjawab pertanyaanku.

  Bohongg!! Tadi ia menemuiku!? Bagaimana bisa!!!!?

  Sampai akhirnya ambulan datang..

***

  Esok adalah hari pemakaman Ryan. Ia dimakamkan di tempat pemakaman umum dekat kotaku.

  Semua yang datang melayat sudah pulang. Tinggal aku yang masih di sini. Sendirian.

  “Siapapun yang datang pada hari itu, aku tak peduli, yang penting aku sempat melihatmu, dan kamu menepati janjimu..” sahutku lirih saat berada di samping batu nisannya.

  Terasa angin berhembus, begitu lembut.. Sampai akhirnya aku melihat sosok Ryan lagi…

  "Jaga dirimu baik-baik. Aku akan selalu bersamamu sekarang..” sahut Ryan sambil tersenyum.

  Aku melihatnya! Aku tak sanggup untuk membendung air mataku. “Ya, jaga juga dirimu baik-baik di sana,” jawabku sambil terisak. 

  Tak lama kemudian ia menghilang bersama hembusan angin…. 

Selamat jalan, Ryan. Semoga kamu baik-baik di alam sana. Kamu sudah bahagia sekarang. Doakan aku juga baik-baik tanpamu yaa.. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar